Senin, 22 April 2013

Pesawat Pengamat Berawak Ala LAPAN


Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mengembangkan pesawat baru: Lapan Surveillance Aircraft (LSA). Pesawat ini akan digunakan untuk memotret wilayah Indonesia yang relatif besar.
Lahirnya pesawat pengamatan ini sekaligus untuk membuktikan penguasaan teknologi pesawat terbang di Indonesia. Hal ini ditegaskan LAPAN dalam penandatanganan kerja sama LAPAN dengan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Senin 22 April 2013.

"Kita masih ada kekurangan akuisisi data dari satelit. LSA ini punya fungsi verifikasi dan validasi data satelit. Satelit perlu data lapangan secara acak," jelas Rika Andiarti, Kepala Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN di kantornya, Rawamangun, Jakarta.


Selain pelengkap data satelit, Rika menambahkan, misi LSA yaitu memonitor data pertanian, pemetaan kawasan banjir, mendeteksi titik kebakaran, mendukung evakuasi, tata kota sampai memantau curah hutan.


"Pesawat ini untuk melengkapi LSU (LAPAN Surveillance UAV) atau pesawat pengamat nirawak. Waktu banjir melanda Jakarta beberapa waktu lalu, LSU sudah digunakan. Juga setelah Gunung Merapi meletus," ujarnya.


Pesawat dengan dua awak LSA memiliki keunggulan dalam mengoleksi data pencitraan dibandingkan satelit. Datanya bersifat cepat dan disuguhkan dalam citra resolusi tinggi.


"Soal resolusi temporal, LSA lebih fleksibel. Kapanpun dibutuhkan, bisa. Kalau satelit, resolusi temporal butuh waktu 16 hari," ujarnya.


Performa LSA


Soal performa, LSA memiliki daya terbang 8-24 jam dengan ketinggian maksimal 7,5 km. Resolusi yang dihasilkan mencapai 50 cm dengan muatan (payload) mencapai 70 kg. "Ke depan kami upayakan LSA nirawak," ujar Rika.


LSA ditargetkan beroperasional secara penuh pada tahun 2015. Akhir tahun ini, sekitar November-Desember, LAPAN menargetkan penerbangan perdana secara resmi.


Guna merintis penerbangan resmi, LAPAN menggandeng Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub. LSA akan diuji di Balai Besar Kalibrasi Fasilitas Penerbangan sampai kemudian mendapatkan sertifikasi laik terbang di udara Indonesia.


Kerja sama dengan Kemenhub meliputi penyediaan hanggar pesawat, fasilitas uji terbang, perawatan, dan operasionalisasi pesawat.


Berikut ini spesifikasi LSA:


Dimensi    Total panjang : 8,52 m
Total tinggi.   : 2,45 m
Total Lebar dengan sayap. : 18 m
PerformaTake off ground roll : 300 m
Cruise speed : 220 km per jam
Max range : 1300 km
Max endurance : 8 jam
Serving cieling : 7260 m
BebanMTOW : 1100 kg
Berat muatan maksimal : 80 kg
Max baggage weight : 20 kg
PropulsiEngine power (MTOP) : 115 hp
Propeller number : 3 bladed
Kapasitas bahan bakar : 130 liter
Jenis bahan bakar : Avgas 100LL/Mogas

Uji Coba Pesawat Nirawak LAPAN Pernah Gagal


Sebelum mengembangkan pesawat pengamatan jenis LSA(Lapan Surveillance Aircraft), badan antariksa nasional ini telah melahirkan pesawat pengamatan tanpa awak atau Lapan Surveillance Unmanned Aerial Vehicle (LSU). Ukuran LSU lebih kecil dibanding LSA.

Pesawat LSU dapat memonitor pertanian, kawasan bencana, tata kota sampai titik kebakaran di wilayah Indonesia, tanpa kendali awak. Sebelum terbang, LSU di-setting untuk melewati beberapa titik koordinat sesuai kebutuhan.

Meski tergolong canggih, uji coba pesawat LSU tak lepas dari kegagalan. Kepala LAPAN, Bambang S Tejakusuma, 22 April 2013, berbagi kisah kegagalan LSU. Bambang menyebut LSU dengan istilah Merpati.

"Pernah Merpati kami terbangkan untuk meneliti dan dokumentasi uji rudal TNI AL serta memantau kapal yang jadi sasaran," ujar Bambang.

Namun, ketika itu, Merpati mengalami perubahan skenario dan pesawat ini kesulitan. "Merpati akhirnya nyebur ke laut, tapi ketemu lagi. Untungnya, hasil potretnya berhasil," lanjutnya.

Kegagalan lain juga pernah terjadi, yaitu saat uji coba pengamatan di atas daratan. Di kawasan dekat dengan jalur penerbangan.

"Saat dicoba di Bandara Muara Kamal, Jakarta Utara, tersedot turbulensi pesawat. Tapi untungnya, pesawat nyangkut di pohon," katanya.

Pengembangan Teknologi

Kegagalan bukan akhir segalanya. Belajar dari pengalaman itu, LAPAN terus mengembangkan teknologi serta menjalin kerja sama dengan institusi lain, termasuk Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub, yang merupakan otoritas penerbangan di Indonesia.

"Kami dibantu oleh Kemenhub untuk pengembangan, perawatan, operasi sampai sertifikasi pesawat," tambah Bambang. Dari sisi teknologi, pesawat pengamatan berikutnya akan diberikan sensor yang lebih baik.

Ia mengatakan, pesawat LSU merupakan sarana awal dalam pengembangan sistem navigasi modern dalam pengamatan lingkungan.

Hingga kini, LAPAN telah membuat dua jenis pesawat tanpa awak, LSU 01 sebanyak enam pesawat dan LSU 02 sejumlah empat pesawat. "Keduanya sudah terbang autopilot selama 2,5 jam," tambah Rika Andiarti, Kepala Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN.

Untuk performa terbang LSU akan dikembangkan menjadi enam jam dengan muatan 10 kg. "Ke depan LSU lebih besar payload (muatan)-nya. Target uji terbang autopilot 10 kg dengan desain berat 25 Kg," katanya.


sumber : Viva

Tidak ada komentar:

Posting Komentar